Halontb.com – Kebijakan komunikasi satu pintu yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi NTB di bawah kepemimpinan Gubernur Lalu Muhammad Iqbal (LMI) memicu perdebatan. Di satu sisi, langkah ini bertujuan untuk memastikan informasi yang disampaikan kepada masyarakat lebih terstruktur dan akurat. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan kebebasan pers.
Gubernur LMI menegaskan bahwa komunikasi publik harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi simpang siur informasi. Ia memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah upaya pembatasan, melainkan strategi untuk meningkatkan efektivitas penyebaran informasi.
“Sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Bu Wagub adalah bahwa komunikasi publik dan hubungan dengan media akan kita kelola dengan lebih baik nantinya,” ujar LMI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai mantan diplomat yang terbiasa menangani komunikasi strategis, LMI memahami pentingnya membangun hubungan baik dengan media. Ia pun telah meminta agar pertemuan rutin dengan wartawan digelar untuk memastikan adanya ruang dialog yang lebih transparan dan interaktif.
“Kebijakan saya mengenai komunikasi publik dan media ini sudah pernah saya sampaikan di depan para pimred beberapa bulan lalu. Jadi tidak ada hal baru,” tambahnya.
Namun, di sisi lain, sejumlah jurnalis menyoroti potensi dampak dari kebijakan ini. Ketua Forum Wartawan Pemprov NTB, Marham, menyatakan bahwa kebijakan satu pintu bisa menghambat akses jurnalis dalam mendapatkan informasi dari pejabat daerah secara langsung.
“Kami berharap komunikasi dengan pejabat tetap bisa dilakukan secara langsung tanpa harus melalui satu pintu yang bisa memperlambat arus informasi,” ujarnya.
Meski demikian, LMI tetap berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers. Menurutnya, komunikasi publik adalah bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam mengedukasi masyarakat.
“Insya Allah saya sangat memahami spirit kebebasan pers dan saya akan rawat itu,” tegasnya.
Seiring berjalannya waktu, implementasi kebijakan ini akan menjadi tolak ukur apakah langkah ini akan benar-benar meningkatkan efektivitas komunikasi publik atau justru menghambat keterbukaan informasi bagi masyarakat. Pemprov NTB kini dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan antara efisiensi informasi dan hak publik atas transparansi pemerintahan.