Halontb.com – Dunia pers di NTB kembali diguncang insiden kekerasan terhadap jurnalis. Wartawati Inside Lombok, Yudina Nujumul Qurani, yang tengah mengandung, menjadi korban dugaan persekusi oleh seorang pegawai pengembang PT Meka Asia berinisial AG. Insiden yang terjadi pada 11 Februari 2025 ini memicu reaksi keras dari berbagai organisasi pers dan lembaga advokasi, yang menuntut penegakan hukum terhadap pelaku.
Berdasarkan laporan yang dihimpun, peristiwa bermula ketika Inside Lombok mengunggah laporan warga tentang banjir yang terjadi di Lombok Barat, dengan menyertakan foto kawasan perumahan PT Meka Asia. Pihak pengembang merasa keberatan dan meminta agar unggahan tersebut dihapus. Namun, karena unggahan tersebut tidak menyalahi kaidah jurnalistik, Inside Lombok menolak permintaan tersebut dan menawarkan hak jawab sebagai solusi. Sayangnya, pihak pengembang tidak segera memberikan klarifikasi.
Ketegangan memuncak saat Yudina, bersama wartawan lainnya, mendatangi kantor PT Meka Asia untuk meminta keterangan lebih lanjut. Di tengah wawancara, Yudina justru mendapat tekanan verbal dari pihak pengembang yang mempertanyakan profesionalismenya. Ia akhirnya keluar dari ruangan dalam keadaan menangis. Namun, bukannya dibiarkan pergi, Yudina justru diduga dikejar, ditarik, dan wajahnya diremas oleh AG.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah kejadian tersebut, korban mengalami syok dan tekanan mental berat. Organisasi pers di NTB, termasuk PWI, IJTI, AJI, AMSI, dan FJPI, mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk serangan terhadap kebebasan pers.
“Kekerasan terhadap jurnalis, apalagi terhadap perempuan hamil, tidak bisa ditoleransi. Ini adalah ancaman bagi kebebasan pers,” tegas Koordinator KKJ NTB, Haris Mahtul.
Di sisi lain, Diegas Bulan Pradhana dari PT Meka Asia membantah keras tuduhan tersebut. Menurutnya, pihak pengembang tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Yudina dan selalu bersikap terbuka terhadap media.
“Kami siap membuktikan melalui rekaman CCTV bahwa tidak ada tindakan kekerasan seperti yang dituduhkan,” ujar Diegas.
Ia berharap masalah ini bisa diselesaikan melalui dialog tanpa harus melibatkan proses hukum.
Namun, Direktur LSBH NTB, Badaruddin, menyatakan bahwa ada dua delik pidana yang berpotensi menjerat pelaku, yakni pasal dalam UU Pers dan undang-undang tentang kekerasan terhadap perempuan.
“Kami sedang mengkaji kemungkinan menempuh jalur hukum agar kasus ini menjadi preseden bagi perlindungan jurnalis ke depan,” ujar Badaruddin.
KKJ NTB kini terus berkoordinasi dengan KKJ Indonesia untuk memastikan kasus ini tidak menguap begitu saja. Insiden ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi ancaman serius. Jurnalis bukan musuh, dan upaya membungkam mereka adalah pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas.
Editor : Reza