Halontb.com – Saat matahari baru naik di ufuk timur Tanjung Geres, debu halus masih mengepul di antara suara mesin pemadat yang meraung-raung. Di tepi jalan, seorang pekerja Lapangan mengusap keringatnya yang bercampur dengan serpihan tanah. “Sudah mau selesai, tinggal haluskan,” katanya sambil menunjuk bentang jalan yang mulai rata.
Ia tidak berbicara dalam konteks rutinitas. Ia sedang berbicara tentang waktu. Tentang target. Tentang proyek yang harus beres sebelum tanggal 17 Desember 2025, hari ketika Nusa Tenggara Barat merayakan ulang tahunnya yang ke-67.
Babak Percepatan: Ketika Kalender Menjadi Tekanan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah Provinsi NTB memutuskan untuk menggeber penyelesaian sejumlah proyek strategis sejak Oktober. Dua bulan kerja tanpa jeda, lembur hingga malam, dan rombongan alat berat yang tidak berhenti bergerak.
Di kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB, Kepala Dinas Sadimin mencoba merangkai kalimat yang seimbang antara optimisme dan realita.
“Sudah mulai mulus dan bisa dilewati,” ujarnya.
Ada nada lega di suaranya. Tetapi di balik kalimat itu, tersembunyi upaya masif yang tidak semua orang melihatnya.
Jalan Baru, Harapan Baru atau Sekadar Seremoni?
Dua ruas jalan utama yang menjadi sorotan adalah:
- Tanjung Geres – Pohgading (4 km, Rp28 miliar)
- Simpang Tano – Seteluk (3,8 km, Rp32,5 miliar)
Keduanya kini telah lebih dari 90 persen selesai. Jalan yang sebelumnya memakan waktu 20 menit kini dapat ditembus hanya dalam 5 menit. Di lapangan, warga mulai merasakan perubahan.
Namun, setiap jalan mulus selalu menyimpan pertanyaan: Berapa lama ia akan bertahan?
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya berkata,
“Bagus sekarang, tapi kami ingin lihat bertahan sampai musim hujan berikutnya.”
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Dalam banyak proyek percepatan di daerah lain, kualitas sering kali dikorbankan demi tenggat seremoni.
Lenangguar – Lunyuk: Antara Ambisi dan Geologi yang Tak Bisa Dikompromikan
Jika dua proyek pertama berjalan mulus, cerita berbeda datang dari ruas Lenangguar – Lunyuk.
Di sana, alam tidak bekerja sama. Tanah bergerak. Tebing runtuh. Pengeboran terhenti.
“Saat pemasangan besi, tanah longsor. Harus dibersihkan dulu agar kualitas cor tidak jelek,” ungkap Sadimin.
Progres proyek baru mencapai 70 persen. Nilai proyeknya Rp20 miliar, termasuk penanganan dua titik tebing aktif. Bagi para insinyur, ini bukan sekadar pekerjaan jalan. Ini pertandingan melawan struktur tanah yang rapuh dan labil.
Seorang teknisi lapangan bercerita:
“Di sini tidak bisa buru-buru. Kalau dipaksa, nanti retak lagi. Kami harus sabar, sementara semuanya ingin3 cepat selesai.”
Inilah dilema besar pembangunan:
Apakah kecepatan bisa disandingkan dengan kualitas ketika geologi tidak mendukung?
Tiga Irigasi: Pembangunan yang Senyap Namun Vital
Di balik gemuruh proyek jalan, Pemprov NTB juga menyelesaikan tiga jaringan irigasi senilai Rp13,5 miliar. Tidak banyak sorotan publik ke sana, tetapi para petani tahu betul:
Irigasi yang baik lebih penting dari spanduk peresmian.
Semua jaringan itu kini sudah rampung. Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, akan memilih salah satu titik untuk peresmian simbolis.
Namun, para pengamat mengingatkan bahwa irigasi bukan hanya soal beton dan saluran. Ia adalah soal tata air, keseimbangan musim, dan keberlanjutan.
“Hadiah Ulang Tahun” yang Menguji Integritas Pembangunan
PUPR NTB menyebut proyek ini sebagai “hadiah ulang tahun”. Istilah yang menarik, tetapi juga mengandung muatan simbolik yang berat.
Hadiah bagi siapa?
Untuk masyarakat?
Untuk catatan birokrasi?
Atau untuk sekadar foto peresmian?
Dalam wawancara dengan beberapa pengamat infrastruktur, muncul satu kesimpulan penting:
“Kejar tayang bukan masalah, selama kualitas tidak dikorbankan. Yang kami takutkan adalah proyek yang dibuat secara sempurna untuk hari peresmian, tetapi gagal dalam satu musim hujan.”
Feature investigatif harus menyoroti itu, ruang kosong antara pencapaian yang ditampilkan dan ketahanan jangka panjang.
Di Balik Pengerjaan: Keringat, Risiko, dan Ketidakpastian
Di lapangan, para pekerja tidak berbicara tentang anggaran, persentase progres, atau strategi politik. Mereka berbicara tentang:
- tanah yang tiba-tiba bergerak
- alat berat yang harus dioperasikan hingga larut
- hujan yang turun tanpa peringatan
- target waktu yang terus menekan
Salah satu mandor mengisahkan,
“Kalau hujan turun di Lenangguar, kami harus turun dari tebing. Risiko terlalu tinggi.”
Inilah realitas yang jarang muncul dalam konferensi pers.
Akhir Cerita yang Belum Selesai
Feature investigatif tidak menutup cerita dengan kepastian karena pembangunan adalah proses panjang yang tidak berhenti saat gunting peresmian menggunting pita.
Yang jelas, proyek-proyek ini akan segera diserahkan kepada masyarakat NTB sebagai “kado ulang tahun”.
Tetapi seperti semua hadiah, nilai sesungguhnya bukan pada bungkusnya, melainkan pada ketahanan, manfaat, dan dampak jangka panjangnya.
Dan itu hanya bisa dibuktikan oleh waktu.
Editor : reza
















