Halontb.com – Ketika suara penolakan atas proyek geothermal menggema dari mimbar-mimbar gereja hingga ruang-ruang komunitas adat, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memilih untuk tidak tinggal diam. Sebuah forum audiensi lintas pemangku kepentingan digelar di Kupang untuk membuka lembaran baru dalam pengelolaan isu sosial di balik proyek energi panas bumi yang mencakup wilayah Flores dan Lembata.
Dipimpin langsung oleh Gubernur Melki Laka Lena, forum ini menyatukan para pihak yang selama ini berdiri di titik-titik yang saling berseberangan. Hadir jajaran direksi PLN, pengembang panas bumi seperti PT Daya Mas Nage Geothermal dan PT Sokoria Geothermal Indonesia, serta empat bupati dari daerah proyek: Ngada, Manggarai, Ende, dan Lembata.
Dalam forum itu, Gubernur Melki tampil sebagai penengah. Ia mengakui bahwa penolakan enam Uskup di Flores adalah manifestasi keresahan yang nyata. “Kami tidak boleh terus memaksakan proyek tanpa dialog. Harus ada keterbukaan, harus ada keberpihakan pada masyarakat lokal. Ini bukan hanya soal listrik, tapi soal keadilan,” ujarnya lantang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai langkah nyata, Pemerintah Provinsi NTT dan PLN sepakat membentuk Tim Penanganan Isu Teknis dan Sosial, yang akan bertugas menyisir persoalan-persoalan yang muncul di lapangan, mulai dari komunikasi, budaya, hingga dampak sosial. Tim ini akan melibatkan elemen sipil dan keagamaan yang selama ini merasa belum cukup didengar.
PLN, sebagai pelaksana proyek, langsung menyambut ajakan tersebut dengan penuh komitmen. General Manager PLN UIP Nusa Tenggara, Yasir, menegaskan kesiapan institusinya untuk menjadi garda depan dalam merajut komunikasi sosial yang lebih baik. “Kami ingin proyek ini membawa manfaat sebesar-besarnya, bukan sekadar menyala di peta listrik nasional, tapi juga menyala di hati masyarakat,” ungkapnya.
PLN juga menilai bahwa geothermal merupakan opsi terbaik untuk NTT yang selama ini terbebani biaya produksi listrik yang tinggi. “Dengan geothermal, kita bisa tekan beban subsidi dan membebaskan anggaran untuk sektor-sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan,” papar GM PLN UIW NTT, F. Eko Sulityono.
Executive Vice President Panas Bumi PLN, John Y.S. Rembet, tak segan mengakui bahwa ada kekeliruan pendekatan pada masa lalu. Ia menekankan pentingnya kehadiran pemerintah daerah sebagai fasilitator yang dipercaya oleh masyarakat, termasuk Keuskupan.
Audiensi ini menjadi titik tolak baru. Di saat panas bumi menjadi kebutuhan, namun juga menyisakan luka sosial, Pemprov NTT dan PLN bersepakat untuk berjalan di jalur tengah, mengutamakan dialog, menghormati budaya lokal, dan menjadikan masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan.
















