Sejalan dengan peluncuran perdagangan karbon di subsektor Pembangkit Tenaga Listrik oleh Kementerian ESDM pada tahun ini, PLN memastikan keikutsertaannya dengan melibatkan 21 PLTU (55 unit/mesin) yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Perdagangan karbon yang dilakukan melalui perdagangan emisi antara PLTU dan offset emisi dari pembangkit rendah karbon, merupakan bagian dari strategi PLN untuk mendukung dekarbonisasi dan mengembangkan bisnis hijau baru.
Selain menurunkan emisi dengan mengurangi pembangkit listrik fosil, PLN juga terus mengembangkan penggunaan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
PLN bersama Pemerintah telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi RUPTL paling hijau sepanjang sejarah Indonesia. Sebesar 51,6 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit atau 20,9 GW akan berasal dari pembangkit EBT. Upaya ini akan menghindari dan menurunkan 1,2 miliar ton emisi CO2. Tidak hanya pembangkit, di saat bersamaan, PLN juga melakukan transformasi digitalisasi pada sisi pembangkit, transmisi dan distribusi agar bisa mendukung penggunaan pembangkit EBT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dulu intermitensi hanya ada di sisi demand. Namun dengan masuknya pembangkit EBT, membuat fluktuasi juga terjadi di sisi supply. Untuk itu kita perlu siapkan sistem kelistrikannya agar lebih optimal dalam menghadapi dinamika dari pembangkit EBT,” tambah Darmawan.
Di sisi hilir, PLN juga menjadikan energi hijau menjadi sebuah layanan. PLN memiliki produk listrik hijau dengan green tariff bagi pelanggan yang membutuhkan listrik yang berasal dari listrik EBT. PLN juga mampu menghadirkan produk hijau Renewable Energy Certificate (REC) yang diakui secara internasional. Sampai tahun 2023 sudah lebih dari 2,8 juta MWh EBT disalurkan bagi 363 pelanggan melalui REC.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya






