Halontb.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai mengaudit kelebihan belanja di Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) NTB yang mencapai angka mencengangkan, Rp 193 miliar. Angka ini menimbulkan polemik, apakah rumah sakit benar-benar kekurangan subsidi dari pemerintah daerah, atau justru ada celah dalam sistem keuangannya yang membuat anggaran membengkak?
Audit ini dilakukan dalam kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dan diperkirakan akan berlangsung selama 38 hari sejak Senin (17/2). Plt Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB, Drs. Ervan Anwar, MM, mengonfirmasi bahwa BPK telah memulai entry meeting untuk pemeriksaan tahap awal.
“Pemeriksaan ini akan mengungkap bagaimana pola belanja di RSUP NTB, apakah sesuai regulasi atau ada potensi penyimpangan,” kata Ervan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu aspek yang disoroti dalam audit ini adalah mekanisme keuangan RSUP NTB yang mengizinkan pengeluaran lebih dahulu sebelum ada kepastian pembayaran. Sistem ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah utang ratusan miliar ini bisa dihindari atau memang menjadi konsekuensi dari sistem layanan kesehatan yang diterapkan rumah sakit.
Direktur RSUP NTB, dr. Lalu Herman Mahaputra, yang akrab disapa Dokter Jack, justru menyambut audit ini dengan tangan terbuka. Ia menegaskan bahwa pemeriksaan ini akan membantu pemerintah daerah memahami beban keuangan rumah sakit.
“Senang saya kalau diaudit. Supaya Pemprov tahu kewajibannya untuk membayar ini. Tidak masalah, supaya kita tahu berapa Pemprov mensubsidi. Kalau tidak begitu, kita tidak tahu,” ujarnya.
Namun, sistem pengelolaan keuangan rumah sakit yang memungkinkan utang sebesar ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk DPRD NTB yang telah lama menyoroti masalah ini.
Dokter Jack menjelaskan bahwa sistem belanja di RSUP NTB memang memungkinkan pembelian barang sebelum ada kepastian pembayaran. Contohnya, rumah sakit bisa membeli obat dalam jumlah besar untuk kebutuhan layanan pasien, tetapi jika penggunaan obat lebih sedikit dari yang diperkirakan, maka sisa stok dianggap sebagai kelebihan belanja.
“Jadi misalnya kita beli alat kesehatan atau obat-obatan dalam jumlah besar untuk memastikan layanan tetap berjalan. Kalau dalam praktiknya tidak semua barang terpakai dalam satu tahun, sisa barang tersebut bisa dianggap sebagai kelebihan belanja. Padahal, barangnya ada, bukan pengadaan fiktif,” jelasnya.
Di luar RSUP NTB, BPK juga tengah melakukan audit terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) NTB 2024 yang mencakup seluruh OPD di NTB. Beberapa OPD akan dipilih sebagai sampel pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah bebas dari kejanggalan.
Hasil audit ini akan menjadi penentu, apakah kelebihan belanja RSUP NTB ini hanyalah konsekuensi dari sistem pengelolaan yang ada, atau justru mengindikasikan masalah yang lebih serius dalam perencanaan keuangan daerah. Dengan angka defisit yang begitu besar, publik menanti jawaban: Apakah ini kesalahan teknis atau ada yang lebih dalam dari sekadar utang rumah sakit?
Editor : Reza