Halontb.com – Januari 2023, udara Mataram masih dibungkus suasana pascapandemi. Di tengah pemulihan ekonomi yang tertatih, penyidik Satreskrim Polresta Mataram mulai mengendus dugaan penyelewengan dana pengadaan masker COVID-19 tahun 2020. Dana sebesar Rp12,3 miliar dari pos Belanja Tak Terduga (BTT) Dinas Koperasi dan UMKM NTB disebut-sebut tidak sepenuhnya sampai kepada rakyat.
Seiring berjalannya penyelidikan, aroma skandal semakin pekat. Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB menemukan kerugian negara Rp1,58 miliar cukup untuk membeli jutaan masker yang kala itu sangat dibutuhkan warga.
Enam Nama di Balik Proyek Masker
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah delapan bulan pengumpulan bukti, penyidik mengumumkan enam tersangka:
1. Dewi Noviany — mantan Wakil Bupati Sumbawa
2. Wirajaya Kusuma — mantan Kepala Biro Ekonomi Setda NTB
3. Rabiatul Adawiyah — istri siri Wirajaya
4. Chalid Tomassong Bulu — Sekretaris Dinas Pariwisata NTB
5. Kamaruddin — Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
6. M. Haryadi Wahyudin — Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
Bagi publik NTB, daftar ini bukan sekadar nama, tetapi simbol dari jaringan kekuasaan yang menguasai proyek-proyek strategis daerah.
Penahanan yang Tak Lama
Awalnya, publik mengapresiasi langkah tegas penyidik yang melakukan penahanan terhadap para tersangka. Namun harapan itu hanya bertahan singkat. Jumat, 8 Agustus 2025, semua tersangka dilepaskan dari tahanan dan hanya diwajibkan lapor setiap Senin dan Kamis.
Alasannya: sakit. Yang membuat publik geleng-geleng kepala adalah semuanya sakit dalam waktu hampir bersamaan.
Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, memastikan keputusan ini diambil setelah seluruh tersangka menyerahkan surat keterangan dokter.
“Semua sudah memberikan surat keterangan sakit,” ujarnya.
Kritik Tajam Sang Guru Besar
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Zainal Asikin, tidak menahan kritiknya.
“Kalau sakit, ya dibawa ke rumah sakit, bukan ditangguhkan penahanannya. Syarat-syarat penangguhan harus jelas terpenuhi. Kalau tidak, ini akan jadi preseden buruk. Semua tersangka korupsi bisa meniru pola ini,” ujarnya tegas.
Prof. Zainal menyoroti risiko abuse of power dalam penggunaan alasan medis. Dalam praktik hukum, sakit memang dapat menjadi pertimbangan, namun solusinya adalah perawatan di rumah sakit di bawah pengawasan, bukan pembebasan dari tahanan.
Preseden Berbahaya
Penangguhan penahanan massal ini berpotensi menjadi cetak biru bagi koruptor di masa depan: cukup dapatkan surat sakit, lalu pulang.
Dampaknya:
* Melemahkan efek jera dalam kasus korupsi
* Menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum
* Mengikis kepercayaan publik terhadap aparat
Bahkan, beberapa aktivis LSM di NTB menilai pola ini bisa membuka peluang jual-beli surat keterangan sakit.
Menguji Transparansi
Publik berhak tahu:
* Apakah pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh tim medis independen?
* Siapa dokter dan fasilitas kesehatan yang mengeluarkan surat keterangan?
* Bagaimana proses evaluasi syarat penangguhan dilakukan?
Tanpa jawaban atas pertanyaan ini, kepercayaan publik akan terus menurun, dan kasus ini akan dikenang bukan sebagai keberhasilan penegakan hukum, melainkan contoh nyata lemahnya sikap terhadap korupsi bencana.
Korupsi di Masa Pandemi: Kejahatan Luar Biasa
Korupsi dana masker COVID-19 bukan sekadar penyalahgunaan uang negara. Ia adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan karena setiap rupiah yang dikorupsi di masa pandemi bisa berarti nyawa yang hilang.
Dalam kasus NTB, dana tersebut seharusnya menjadi tameng melawan virus. Alih-alih melindungi warga, ia malah berakhir di kantong segelintir orang yang kini bisa pulang dengan alasan sakit.
Penutup Penegakan hukum bukan sekadar formalitas prosedural, tapi soal membangun rasa keadilan. Keputusan penangguhan massal ini adalah ujian besar bagi aparat di NTB. Apakah mereka akan membiarkan preseden buruk ini mengakar, atau mengembalikan marwah hukum yang tegas dan setara untuk semua?
Publik menunggu.






