Halontb.com – Suasana ruang sidang Pengadilan Tipikor Mataram berubah hening ketika Rosiady Husaeni Sayuti berdiri. Dengan nada tenang namun tegas, mantan Sekda NTB itu membacakan pledoinya. Ia tak hanya membela dirinya, tapi juga menegur logika hukum yang mulai kehilangan arah.
“Dari fakta persidangan, tidak ada perbuatan melawan hukum. Seluruh pembangunan dibiayai oleh pihak swasta. Kalau ada kekeliruan, itu administratif, bukan pidana,” ujarnya.
Rosiady tidak bicara sebagai terdakwa, melainkan sebagai seorang birokrat dan pendidik yang merasa diseret oleh sistem hukum yang salah kamar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakta yang Terlupakan
Kasus NCC disebut-sebut menimbulkan kerugian Rp15,2 miliar. Namun, dalam sidang-sidang panjang, tidak satu pun bukti menunjukkan uang negara keluar.
Ahli keuangan negara Dr. Eko Sembodo menyatakan:
“Setiap uang negara wajib tercatat dalam neraca keuangan. Jika tidak tercatat, itu bukan uang negara.”
Ahli pidana Dr. Chairul Huda menambahkan, “Negara tidak rugi, bahkan mendapat dua gedung baru. Jika ada perbedaan nilai, itu ranah administrasi.”
TGB M. Zainul Majdi, mantan Gubernur NTB yang menjadi saksi, menutup keraguan publik: “Tidak ada uang APBD atau APBN yang digunakan dalam proyek NCC.”
Namun semua fakta iti seolah tak mampu menahan langkah tuntutan jaksa yang menjerat Rosiady dengan pasal berat 12 tahun penjara.
Pesan untuk Pembangunan Daerah
Di tengah pledoinya, Rosiady berbicara bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk masa depan daerah.
“Kalau kebijakan administratif dijadikan pidana, maka pejabat akan takut mengambil keputusan. Investor pun takut berinvestasi. Yang rugi adalah rakyat,” katanya.
Ia menyinggung pesan Presiden Prabowo Subianto yang mendorong kolaborasi investasi swasta untuk mempercepat pembangunan. “Semangat itu tidak akan terwujud kalau kebijakan publik terus dikriminalisasi,” tambahnya.
Harapan Terakhir: Nurani Hakim dan Doa Rakyat
Menutup pembelaannya, Rosiady mengucap kalimat sederhana namun penuh makna.
“Saya berdoa semoga hakim diberi ketenangan hati. Saya ingin kembali bekerja, mendidik mahasiswa, mencerdaskan generasi muda.”
Di luar ruang sidang, ribuan doa mengalir dari masyarakat NTB yang mengikuti perkembangan kasus ini sejak awal.
Penasihat hukum Rofiq Ashari menyebut pledoi kali ini sebagai ujian logika hukum.
“Kami yakin, fakta sudah cukup kuat untuk membebaskan Pak Rosiady. Ini bukan korupsi, ini kebijakan publik yang dijalankan secara sah,” katanya.
Akhir dari Sebuah Ironi
Sidang pledoi ini bukan sekadar tahapan hukum, tapi cermin dari kondisi peradilan yang sering kali menempatkan birokrat bersih di kursi terdakwa.
Di ruang Tipikor Mataram, publik tak hanya menunggu putusan, tapi juga kejujuran nurani hukum.
Jika fakta yang begitu jelas masih dikalahkan oleh pasal yang dibaca kaku, maka sejarah akan mencatat, bukan keadilan yang diadili, tapi akal sehat itu sendiri.
Editor : reza

 
					





 
						 
						 
						 
						