Halontb.com – Tragedi menyelimuti proses pengiriman ternak dari NTB menuju Jabodetabek menjelang Idul Adha. Dua ekor sapi ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan di dalam sebuah truk pengangkut yang baru tiba dari Bima, Sumbawa. Dugaan kuat, kematian ini dipicu oleh kelebihan muatan dan buruknya perhatian terhadap kesejahteraan hewan selama perjalanan.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi NTB, Muhamad Riadi, memastikan bahwa penyebab kematian bukan karena penyakit, melainkan tekanan fisik dan kelelahan akibat perjalanan darat-laut yang panjang. Truk yang digunakan dinilai terlalu padat tanpa mempertimbangkan ukuran tubuh sapi. Salah satu sapi yang berukuran lebih kecil diduga terjatuh dan terinjak oleh yang lain.
“Truknya terlalu penuh. Sapi kecil bisa saja jatuh dan diinjak. Ini soal logistik yang semrawut dan kurangnya empati terhadap hewan,” ujar Riadi saat dikonfirmasi di Mataram, Sabtu (19/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan, walau ternak telah memiliki surat keterangan sehat dari daerah asal, faktor kondisi selama pengiriman tetap harus menjadi perhatian. Distribusi hewan hidup bukan sekadar urusan administratif, tapi juga menyangkut etika dan tanggung jawab moral.
“Kalau manusia ingin sejahtera, hewan pun berhak diperlakukan layak. Ini bukan hanya urusan regulasi, tapi soal rasa kemanusiaan dalam berbisnis,” katanya.
Riadi juga mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat, yang saat kejadian dipadati hingga 90 unit truk tronton pengangkut ternak. Padahal, kapasitas ideal pelabuhan hanya 55 unit, dengan sistem keberangkatan dua hari sekali. Penumpukan ini membuat hewan terjebak lama di dalam truk sempit yang minim ventilasi.
“Tahun lalu kita bisa kendalikan. Tapi tahun ini justru akan ditambah 70 truk lagi. Ini bukan hanya padat, tapi sudah tidak logis dan berisiko tinggi,” tegasnya.
Guna mencegah kejadian serupa, Disnakkeswan NTB mendorong beberapa langkah konkret. Di antaranya, penjadwalan ulang keberangkatan truk secara lebih tertib, koordinasi lintas instansi dengan Kementerian Perhubungan, Balai Karantina, otoritas pelabuhan, hingga operator kapal, serta edukasi kepada pelaku usaha dan sopir mengenai standar pengangkutan hewan yang etis.
“Pemeriksaan visual sebelum naik kapal harus diterapkan untuk setiap truk. Kami juga usulkan adanya shelter sementara di area pelabuhan, supaya sapi tak dibiarkan berlama-lama dalam kendaraan,” tambah Riadi.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan agar distribusi ternak dari NTB tidak hanya efisien, tetapi juga berlandaskan nilai kemanusiaan. Mengingat posisi NTB sebagai salah satu pemasok utama hewan kurban nasional, khususnya untuk wilayah Jabodetabek, maka perlakuan terhadap ternak harus mencerminkan standar etika yang tinggi.
“Sapi bukan cuma angka dalam ekonomi. Mereka bagian dari sistem besar yang menghidupkan pasar dan memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat. Mereka pantas mendapat perlakuan yang bermartabat,” pungkasnya.






