Halontb.com – Langkah awal Gubernur NTB Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal, S.IP., M.Si., dan Wakil Gubernur Hj. Indah Dhamayanti Putri, S.E., M.I.P., dalam menata komunikasi pemerintahan langsung menimbulkan kontroversi. Dalam rapat pimpinan perdana di Ruang Rapat Tambora, Kantor Gubernur NTB, Senin (24/2), mereka menetapkan kebijakan baru: semua informasi resmi Pemprov NTB hanya boleh disampaikan melalui satu pintu, yakni Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) NTB.
Menurut Wakil Gubernur Dinda, kebijakan ini dibuat untuk memastikan informasi yang disampaikan ke publik lebih akurat dan tidak simpang siur. “Kami ingin OPD bekerja sesuai tupoksinya. Media juga tidak perlu mencari informasi ke berbagai tempat karena semuanya akan dikelola satu pintu agar lebih terstruktur dan tidak asal-asalan,” ujar Dinda.
Namun, di balik alasan tersebut, kebijakan ini justru menimbulkan efek samping yang signifikan: pejabat Pemprov NTB menjadi lebih tertutup kepada media. Sejumlah pejabat yang sebelumnya biasa memberikan keterangan langsung kini memilih bungkam atau bahkan menghindari wartawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu contoh nyata adalah Direktur RSUP NTB, Lalu Herman Mahaputra, yang sebelumnya kerap berbicara kepada media. Saat ditanya mengenai polemik Rumah Singgah yang ramai dibahas di media sosial, ia hanya menjawab singkat, “Sudah saya press release kemarin. Silakan ke Kominfotik.”
Asisten III Setda NTB, Wirawan Ahmad, juga mengeluarkan pernyataan serupa. “Kami hanya mengikuti arahan, semua informasi harus lewat Diskominfotik,” katanya. Sementara itu, Plt Kepala BKAD NTB, Ervan Anwan, bahkan memilih menghindari wartawan yang ingin mengonfirmasi isu-isu keuangan daerah.
Kondisi ini langsung memicu protes dari kalangan jurnalis. Ketua Forum Wartawan Pemprov NTB, Marham, menyebut kebijakan ini sebagai langkah mundur dalam keterbukaan informasi publik. “Jurnalis berhak mendapatkan informasi langsung dari sumbernya, bukan hanya melalui satu pintu yang bisa saja menyaring atau menyusun narasi tertentu. Jika ini terus berlangsung, pers akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial,” tegasnya.
Menurut Marham, kebijakan satu pintu ini juga berpotensi menimbulkan bias dalam penyampaian informasi. “Diskominfotik bukan ahli di setiap bidang. Bagaimana mereka bisa memberikan informasi yang mendalam tentang persoalan di RSUP, BKAD, atau OPD lainnya? Ini akan membuat informasi yang sampai ke publik menjadi dangkal dan tidak transparan,” kritiknya.
Sementara itu, sejumlah pengamat komunikasi politik menilai kebijakan ini bisa menjadi alat kontrol informasi yang berbahaya jika tidak diawasi dengan baik. “Jika semua pernyataan harus disaring satu lembaga, maka potensi terjadinya framing informasi sangat tinggi. Hal ini bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujar salah seorang pakar komunikasi.
Di tengah kritik dan polemik yang berkembang, Pemprov NTB belum memberikan sinyal akan merevisi kebijakan ini. Sementara itu, para jurnalis tetap berupaya mencari celah agar mereka bisa menjalankan tugasnya dalam menyampaikan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Apakah Pemprov NTB akan bersikap lebih fleksibel dalam kebijakan ini? Ataukah kebijakan satu pintu ini akan terus dipertahankan meski mendapat gelombang kritik dari para jurnalis? Publik menunggu jawabannya.






