Halontb.com – Tubuh mungil bayi itu tak lagi bernyawa. Digendong sang nenek di kursi belakang mobil sewaan, jenazah itu menunggu perjalanan terakhirnya menuju Sumbawa Barat. Namun di Pelabuhan Kayangan, perjalanan itu tertahan. Bukan karena badai atau ombak, tapi karena aturan.
Yuliana (20), sang ibu, baru saja melahirkan bayi prematur di RSUP NTB. Kehamilannya berakhir tragis di usia 24 minggu lebih lima hari. Diagnosa Kematian Janin Dalam Rahim mengguncang dunianya. Saat bayi lahir pada 6 April dini hari, nyawa sudah tak ada. Beratnya hanya 650 gram. Tapi cobaan Yuliana baru dimulai.
Biaya pengantaran jenazah resmi mencapai Rp 2,6 juta. Tak terjangkau. Tak ditanggung BPJS. Maka, dengan luka yang belum sembuh dan air mata yang belum kering, keluarga menyewa transportasi online senilai Rp 407 ribu, membawa pulang jenazah tanpa ambulans.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Pelabuhan Kayangan, petugas menghentikan mereka. Regulasi melarang pengangkutan jenazah dengan mobil biasa. Jenazah pun harus menunggu lagi, kali ini bukan karena takdir, tapi karena sistem.
Aparat Polsek Kayangan yang terenyuh, akhirnya memfasilitasi ambulans dari Puskesmas Labuhan Lombok. Tapi luka sudah terukir. Keluarga miskin harus mengais belas kasih, bahkan untuk memakamkan buah hatinya.
Direktur RSUP NTB, dr. H. Lalu Herman Mahaputra, menyebut dana sosial rumah sakit bisa digunakan untuk kasus seperti ini. Tapi Yuliana tak sempat tahu. Ketakutan jenazah bayi akan rusak membuat keluarga memutuskan segera pulang.
Ini bukan hanya kisah tentang kematian. Ini tentang sistem yang tak cukup cepat menjangkau yang paling membutuhkan. Di negeri ini, bahkan untuk membawa pulang jenazah anak sendiri, kemiskinan masih jadi penghalang.