Halontb.com – Kasus pelanggaran izin tinggal dua warga asing di Gili Trawangan, Kristof Veris dan Miguel De Vega Contreras, menyingkap sisi lain dari wajah penegakan hukum keimigrasian di NTB.
Keduanya dituding menjalankan bisnis hiburan malam Bora Bora Beach Club tanpa izin tinggal resmi. Paspornya telah ditahan sejak Juli, dan kini Imigrasi NTB memastikan keduanya akan segera dideportasi. Namun keputusan ini bukan tanpa kontroversi.
UU Tajam di Atas Kertas, Tumpul di Lapangan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara normatif, Pasal 112 UU Keimigrasian memberi ancaman pidana berat bagi WNA yang menyalahgunakan izin tinggal. Namun yang diterapkan justru Pasal 74, yang hanya berujung pada deportasi dan pencekalan.
Alasan Imigrasi sederhana: jalur pidana terlalu panjang dan memakan waktu. Padahal, jika aparat menempuh jalur hukum, kasus ini bisa menjadi momentum untuk menunjukkan ketegasan Indonesia terhadap pelanggaran WNA di sektor strategis pariwisata.
“Kalau lewat jalur pidana, prosesnya panjang sekali, dari penyidikan hingga putusan tetap. Karena pelanggaran ini baru pertama kali, kami pilih deportasi,” kata Mochamad Akbar Adhinugroho, Kabid Gakkum Kanwil Imigrasi NTB.
Misteri di Balik Legalitas
Fakta lain yang menimbulkan tanda tanya adalah status kepemilikan Bora Bora Beach Club. Imigrasi mengaku belum menelusuri akta notaris secara detail. Nama Kristof tidak tercatat, meski di lapangan publik meyakini ia adalah pengendali usaha tersebut.
Praktik WNA menggunakan nama warga lokal untuk mengamankan izin usaha sudah sering terjadi di kawasan wisata. Hal ini membuat dugaan bahwa kasus Kristof hanyalah puncak gunung es dari pola pelanggaran yang lebih besar.
Pariwisata vs Kedaulatan Hukum
Gili Trawangan dikenal sebagai ikon wisata NTB. Namun kasus ini memunculkan pertanyaan serius: apakah pariwisata hanya akan menjadi lahan subur bagi bisnis asing yang berjalan tanpa aturan, sementara kedaulatan hukum Indonesia diabaikan?
Jika hukum hanya berakhir pada deportasi, maka pesan yang diterima para pelaku adalah: melanggar boleh, asal siap diusir. Tidak ada efek jera, tidak ada pembelajaran hukum.
Pada akhirnya, kasus Bora Bora Beach Club menjadi refleksi tentang bagaimana hukum bisa tajam di atas kertas, namun tumpul ketika berhadapan dengan modal asing.