Halontb.com – Direktur Lombok Global Institut (LOGIS) NTB, M. Fihiruddin, mengangkat isu yang selama ini jarang dibahas, yakni gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurutnya, setelah 10 tahun tanpa perubahan, sudah waktunya gaji para wakil rakyat ini disesuaikan agar selaras dengan perkembangan ekonomi dan tuntutan kerja yang semakin berat.
“Setiap tahun UMR dan UMK di NTB meningkat, tetapi gaji anggota DPRD justru stagnan selama satu dekade. Ini adalah situasi yang tidak seimbang. Bagaimana kita bisa mengharapkan kinerja terbaik dari mereka jika kebutuhan hidup mereka tidak diperhatikan?” kata Fihiruddin saat ditemui di Mataram.
Ia menjelaskan bahwa kenaikan gaji bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan personal, tetapi juga untuk meningkatkan profesionalisme dan etos kerja para legislator. Menurutnya, dengan gaji yang layak, para anggota dewan dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas-tugas legislasi, pengawasan, dan penganggaran, tanpa terganggu oleh kekhawatiran finansial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Membandingkan dengan NTT: Gaji Tinggi Meski PAD Rendah
Fihiruddin kemudian membandingkan situasi di NTB dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia mengungkapkan bahwa gaji anggota DPRD di NTT mencapai Rp70 juta per bulan, jauh lebih tinggi dibandingkan anggota DPRD NTB yang hanya menerima Rp53 juta per bulan. Padahal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTT jauh lebih kecil, hanya sekitar Rp1,8 triliun, dibandingkan NTB yang mencapai lebih dari Rp2,6 triliun.
“Ini sangat kontras. PAD NTB lebih besar, tapi gaji anggota DPRD kita masih jauh tertinggal. NTT dengan PAD yang lebih kecil justru mampu memberikan kesejahteraan lebih baik kepada anggota dewan mereka,” ujarnya dengan nada kritis.
Fakta ini, menurut Fihiruddin, menunjukkan bahwa NTB sebenarnya memiliki ruang anggaran untuk menyesuaikan gaji DPRD tanpa mengganggu stabilitas keuangan daerah. Ia juga menyebut bahwa langkah ini akan menjadi investasi jangka panjang dalam memperbaiki kinerja para legislator daerah.
“Jika NTT saja mampu, maka NTB sebenarnya lebih dari mampu. Ini hanya soal keberanian pemerintah daerah untuk memprioritaskan kesejahteraan sekaligus profesionalisme para wakil rakyat,” tambahnya.
Harapan untuk Transparansi dan Akuntabilitas
Namun, Fihiruddin tidak menutup mata terhadap kritik yang mungkin muncul dari masyarakat. Menurutnya, kenaikan gaji harus diiringi dengan transparansi penggunaan anggaran serta peningkatan kinerja nyata dari para anggota DPRD.
“Rakyat harus diberi penjelasan bahwa kenaikan gaji ini bukan hanya untuk kesejahteraan anggota dewan, tetapi juga untuk mendukung kinerja yang lebih baik. Transparansi adalah kunci. Kita harus memastikan setiap rupiah dari anggaran daerah digunakan untuk kepentingan masyarakat luas,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa kenaikan gaji harus disertai dengan mekanisme evaluasi kinerja yang ketat. Hal ini penting agar masyarakat dapat melihat dampak positif dari kebijakan tersebut.
“Dengan gaji yang lebih baik, kita punya hak untuk menuntut kinerja yang lebih baik pula. Ini adalah hubungan timbal balik yang harus dijaga,” ujarnya.
Wacana kenaikan gaji DPRD NTB membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan pengelolaan anggaran. Perbandingan dengan NTT menjadi bukti bahwa NTB memiliki potensi besar untuk memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi para legislatornya.
Kini, semua mata tertuju pada pemerintah dan DPRD NTB. Akankah mereka berani mengambil langkah maju untuk memperbaiki sistem yang ada, atau justru terjebak dalam status quo? Yang jelas, publik akan terus memantau, dan tuntutan untuk transparansi dan akuntabilitas tidak akan surut.