Halontb.com – Ketika publik mulai lupa dengan hiruk-pikuk pandemi dan segala proyek penanggulangannya, satu kasus lama kembali mencuat dan menyisakan tanda tanya besar: benarkah semua yang terjadi adalah soal penegakan hukum, atau ada agenda tersembunyi?
Adalah proyek pengadaan masker tahun 2020 di Provinsi NTB senilai Rp12,3 miliar. Kasus yang ditangani oleh Polresta Mataram ini telah menetapkan enam tersangka, termasuk DN, mantan Wakil Bupati Sumbawa yang kala itu menjabat sebagai Kepala Tata Usaha di BPKAD NTB. Namun, proses penyidikan kini tengah dipertanyakan oleh sejumlah kalangan.
Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) NTB menjadi pihak yang paling vokal. Ketua mereka, Lalu Hizzi, menyebut penyidikan yang dilakukan Satreskrim Polresta Mataram penuh kejanggalan dan berpotensi kriminalisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saudari DN bukan pejabat di instansi pengadaan, bukan PPK, bukan kuasa pengguna anggaran. Tapi malah ditetapkan sebagai tersangka. Ini ada yang tidak beres,” ujar Hizzi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, DN hanya berperan dalam memfasilitasi UMKM penerima program di wilayah Mataram. Tidak ada dokumen atau bukti penyalahgunaan kewenangan, penerimaan gratifikasi, ataupun indikasi kerugian negara yang ditimbulkan langsung oleh perannya.
Ironisnya, penyidik kasus ini, Kompol I Made Yogi Purusa Utama, kini berada di sisi lain meja hukum. Ia ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan terhadap Brigadir Nurhadi—anak buahnya sendiri dari satuan Propam Polda NTB. Tak hanya itu, Kompol Yogi bersama IPDA Haris Chandra juga diduga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba jenis ineks.
Keduanya telah dipecat tidak hormat dari institusi Polri.
“Bagaimana mungkin seorang penyidik yang tersangkut narkoba dan pembunuhan bisa dipercaya dalam menangani kasus dugaan korupsi dengan nilai miliaran rupiah?” kata Hizzi.
Ia juga menyoroti lembaga audit yang digunakan. Penyidik menggandeng BPKP NTB untuk menghitung kerugian negara, namun menurut Hizzi, itu tak sesuai konteks. “Pengadaan masker itu bukan bangunan fisik. Harusnya BPK yang turun, bukan BPKP. Ini cacat sejak awal,” tegasnya.
Atas semua kejanggalan tersebut, ALARM mendesak Mabes Polri dan Polda NTB turun tangan. Tim audit independen diminta mengkaji ulang proses penyidikan, termasuk memverifikasi fakta hukum yang ada.
“Kami tidak menolak pemberantasan korupsi. Tapi hukum jangan dijadikan alat untuk menarget orang-orang yang tidak punya kuasa. Jika prosesnya cacat, maka hasilnya bisa menjadi bentuk baru dari ketidakadilan,” tutup Hizzi.






