Halontb.com – Di tengah hiruk pikuk sidang kasus NTB Convention Center (NCC), suara paling jernih justru datang dari tempat yang paling hening: Majelis Adat Sasak. Dengan pakaian adat dan bahasa yang menyejukkan, Dr. H. Lalu Sajim Sastrawan, S.H., M.H., Ketua Majelis Adat Sasak, mengeluarkan pernyataan keras namun sarat kebijaksanaan
“Kami bangsa Sasak diajarkan untuk malu kalau berbuat salah. Tapi kami juga diajarkan untuk tidak diam melihat ketidakadilan. Rosiady bukan koruptor. Ia sedang menjadi korban dari sistem hukum yang kehilangan nurani.”
Birokrat Jujur yang Dihukum oleh Sistem
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rosiady Husaeni Sayuti birokrat, akademisi, dan tokoh pendidikan NTB kini duduk di kursi terdakwa karena dugaan korupsi pembangunan NCC.
Namun, semua saksi dan ahli hukum di pengadilan menyatakan satu hal: tidak ada kerugian negara.
“Kalau uang negara tidak digunakan, aset negara tidak berkurang, dan pejabatnya tidak memperkaya diri, apa yang dikorupsi?” tanya Sajim dengan nada sarkastis.
Ia menilai, tuntutan 12 tahun penjara terhadap Rosiady bukan hanya berat, tapi juga menyalahi logika hukum.
“Negara tidak dirugikan, tapi pejabatnya dipenjara. Di mana letak keadilannya?” tambahnya.
Majelis Adat: Ini Luka Kolektif untuk NTB
Majelis Adat Sasak melihat kasus ini bukan sekadar perkara hukum, tapi pukulan terhadap marwah masyarakat Sasak.
Rosiady adalah simbol keteladanan birokrat yang lurus, bukan pencari keuntungan pribadi.
“Kami bangsa Sasak sangat malu jika ada yang mencuri atau menyalahgunakan jabatan. Tapi kami lebih malu lagi kalau orang jujur dipenjara. Itu bukan keadilan, itu aib bagi hukum,” ujar Sajim tegas.
Ia menyebut, kriminalisasi kebijakan seperti ini bisa membuat ASN takut mengambil keputusan, dan membuat investor enggan menanamkan modal di NTB.
“Kalau setiap kebijakan diseret ke pengadilan, maka pembangunan daerah akan mati,” katanya.
Pesan untuk Hakim dan Negara
Menjelang sidang vonis pada Jumat, 10 Oktober 2025, Majelis Adat Sasak menyerukan pesan moral bagi majelis hakim
“Gunakan hati, bukan hanya pasal. Hakim yang baik bukan yang hafal undang-undang, tapi yang bisa mendengar suara kebenaran.”
Majelis juga menyampaikan rencana silaturahmi ke Pengadilan Tipikor Mataram, serta koordinasi dengan Komisi III DPR RI untuk mengingatkan aparat penegak hukum agar bertindak sesuai asas kemanusiaan.
“Kami akan datang, membawa doa dan suara rakyat. Karena keadilan tanpa hati adalah kezaliman yang sah,” tutur Sajim dengan nada pelan namun penuh makna.
Adat Sebagai Cermin Keadilan
Dalam ajaran Sasak, keadilan sejati adalah keseimbangan antara akal dan hati.
Majelis Adat Sasak menegaskan akan terus membela nilai kejujuran, karena di tanah Sasak, orang jujur akan dibela mati-matian.
“Kami tidak membela individu, kami membela nilai. Jika kebenaran dikalahkan oleh pasal, maka yang sesungguhnya dihukum bukan Rosiady tapi nurani bangsa ini,” tutup Sajim.






