Halontb.com – Kasus pembelian lahan seluas 70 hektar untuk Sirkuit MXGP di Samota, Sumbawa, kembali menggebrak opini publik. Nominal fantastis Rp53 miliar dan aroma mark-up harga membuat transaksi ini diduga kuat sebagai hasil “pemufakatan jahat” yang melibatkan pejabat daerah dan tokoh berpengaruh.
Mantan Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa disebut memberi restu penuh atas pembelian dari tangan Ali Bin Dachlan (Ali BD), mantan Bupati Lombok Timur. Menurut penilaian appraisal independen, nilai tersebut jauh melampaui harga pasar.
“Sulit mengatakan ini hanya jual beli biasa. Terlalu banyak peran dan pola yang menguntungkan pihak tertentu,” kata seorang pegiat antikorupsi lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Skema Konsinyasi yang Janggal
Uang pembelian disalurkan lewat sistem konsinyasi di pengadilan, lalu dibayarkan kepada penerima meski status tanah masih sengketa. Kejanggalan makin tebal ketika pencairan dana terjadi dua kali pada tahun berbeda kepada pihak yang sama.
Transparansi penentuan harga nyaris tak terlihat. Publik menilai Ali BD menjadi pihak yang paling diuntungkan.
Kejati NTB Masih Tanpa Tersangka
Kepala Kejati NTB saat itu, Enen Saribanon, berdalih masih menunggu perhitungan kerugian negara dari BPKP. Tetapi hingga akhir masa jabatannya, tidak ada perkembangan berarti.
Kini, beban besar ada di pundak Wahyudi, Kepala Kejati NTB yang baru. Apakah ia berani memanggil dan memeriksa nama besar yang ada di lingkaran kekuasaan?
Ahli Hukum: Dua Sumber Kendala
Prof. Zainal Asikin, Guru Besar Hukum Universitas Mataram, menyebut dua hambatan utama: ketidakjelasan status kepemilikan tanah Samota dan kemungkinan keterlibatan pejabat tinggi sebagai aktor intelektual.
“Jika tanah ini aset pemerintah, maka transaksi tersebut jelas bermasalah. Apalagi kalau dialihkan oleh pihak yang tak berhak,” tegasnya.
Ujian Integritas Penegak Hukum
Masyarakat Sumbawa mendesak Kejati NTB tidak hanya mengulur waktu. Kasus ini telah menjadi simbol pertaruhan integritas hukum di NTB. Publik kini hanya menunggu satu hal: apakah keberanian hukum setara dengan tebalnya berkas perkara di meja penyidik?






