Halontb.com – Mereka berseragam, bertugas mengawasi integritas aparat. Tapi kini, dua anggota Paminal — Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Aris Candra Widianto bukan sedang berjaga, melainkan duduk di kursi terdakwa.
Sidang perdana kasus pembunuhan Brigadir Muhammad Nurhadi digelar Senin (27/10) di Pengadilan Negeri Mataram. Bukan hanya publik, bahkan anggota keluarga korban yang hadir tak kuasa membendung tangis ketika jaksa membacakan dakwaan: dua pengawas etik berubah jadi pelaku kekerasan.
“Pesta” Ala Aparat
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dakwaan JPU menyebut, malam itu dimulai dengan pesta pil ekstasi, riklona, dan alkohol di Villa Tekek Gili Trawangan. Semua peserta adalah aparat. Ya, pengawas etik, pelaku, dan korban adalah polisi.
Aris, yang konon tersinggung oleh candaan ringan korban, melayangkan pukulan bercincin ke wajah Nurhadi. Tidak lama kemudian, Yogi yang mabuk berat melakukan pitingan mematikan. Leher patah. Lidah patah. Korban tenggelam.
Tak perlu jadi kriminolog untuk tahu, pesta ini bukan lagi pesta ini resep sempurna untuk bencana.
Malam Panik dan Larangan Bukti
CCTV villa menjadi saksi bisu. Aris berlari panik minta bantuan pukul 21.18 WITA. Tim medis datang, tapi semua sudah terlambat. Nurhadi meninggal pukul 22.30 WITA.
Dan di tengah kepanikan, sebuah kalimat keluar dari mulut Aris, “Tidak boleh foto!”.
Larangan dokumentasi jenazah itu kini menjadi bagian penting dalam dakwaan Pasal 221 KUHP tentang menghalangi penyidikan. Polisi melarang bukti polisi. Ironi tingkat tinggi.
Pasal Tak Lagi Sekadar Teks
Yogi dan Aris kini dijerat Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 354 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan berat mengakibatkan kematian, serta Pasal 221 ayat (1) KUHP.
Keluarga korban menuntut keadilan, publik menatap dengan getir, dan institusi Paminal yang semestinya menjadi benteng etik justru retak dari dalam.






