Maka yang terjadi kemudian, sejarah mencatat, H Mohammad Ruslan terpilih sebagai Wali Kota Mataram dengan kemenangan tipis dalam pemilihan di DPRD Kota Mataram. Saat itu, kemudian Madiono dari PDIP terpilih sebagai Ketua DPRD Kota Mataram dan TGH Ahyar sebagai Wakil Ketua DPRD.
”Apakah dengan terpilihnya Kak Tuan Ruslan jadi Wali Kota Mataram kita sesama orang Sasak ada yang macam-macam di Kota Mataram? Nggak. Begitu juga dengan saat Kota Mataram dipimpin Walikota HL Masud,” tandas Rachmat.
”Dan yang terbaru, saat Pilkada Kota Mataram tahun 2020 kemarin. Putra Kak Tuan Ruslan, Mohan Roliskana bertanding dengan bibiknya Selly Andayani, istri saya, di Pilkada, dan Mohan memenangkan kontestasi. Apa saya ribut? Apa lalu kita tarik-tarik kakinya dan mengganggu Mohan? Nggak ada,” sambung Rachmat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, politisi lintas zaman ini mengemukakan, jika ada pejabat yang melabeli orang Sasak memiliki ”semangat jurakan” saat ini, maka tindakannya itu disebutnya sangat identik dengan mendorong perpecahan. Apalagi, hal tersebut disuarakan di hadapan anak-anak muda. Generasi masa kini.
Padahal, kata Rachmat, anak-anak muda Indonesia saja sudah memproklamirkan Sumpah Pemuda pada 95 tahun yang lalu, di mana mereka bersumpah untuk Berbangsa Satu, Bertanah Air Satu, dan Berbahasa Satu. Itu pula sebabnya, Rachmat mengkritik juga pejabat seperti Khalik dalam pidatonya masih menggunakan diksi “Bangsa Sasak”. Sebab, menurut Rachmat, saat ini yang ada hanya Bangsa Indonesia. Sementara Sasak, seperti halnya Samawa, dan Mbojo, adalah suku di Indonesia. Karena itu, setiap warga negara di Indonesia, kata Rachmat, boleh menjadi apa saja di Republik Indonesia, tanpa melihat kesukuannya.






