Kedua, untuk menggunakan Utang sebagai mekanisme pembiayaan pembangunan, maka rencana utang itu harus tertuang pada akun pembiayaan penerimaan dengan persetujuan DPRD. Adapun pada kasus yang diributkan saat ini, Utangnya menggunakan DPA tahun berjalan lalu jadi tunggakan pembayaran pada tahun berikutnya.
Defisit APBD 2022 Tembus Rp 1 Triliun
Saya cukup terkejut saat membuka website kementrian keuangan dengan alamat djpk.kemenkeu.go.id , pada website itu dijumpai informasi defisit APBD NTB 2022 besar banget, yaitu mencapai 1,314 Triliun. Yang patut diwaspadai, defisit pada tahun anggaran 2022, potensial menjadi total utang pada tahun anggaran 2023. Informasi dari website kementrian keuangan tadi, coba untuk saya klarifikasi melalui beberapa cara, yaitu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama, saya berusaha mengontak beberapa sumber saya di DPRD Udayana, juga sumber lain dari birokrat senior untuk mengklarifikasi soal defisit APBD tersebut. Mereka mengakui bahwa Sebagian asumsi pendapatan daerah memang ada yang “bodong”, basis hitungannya kurang jelas dan kurang teknokratik. Asumsi bodongnya itu mengejutkan, dengan taksiran jumlah yang membuat saya ternganga, ratusan milyar. Saya langsung menepuk jidat, pantesan banyak kontraktor yang nggak terbayar tepat waktu ya.
Kedua, dari dokumen LKPJ tahun 2022 yang saya peroleh, hitungan realisasi Pendapatan tahun 2022 angkanya berbeda jauh dengan update dari website Kementrian Keuangan. Pada LKPJ disebutkan realisasi pendapatan mencapai 5,3 Triliun sedangkan pada website kementrian tercatat 4,366 Triliun. Saya berdoa sungguh-sungguh, website kementrian itu menampilkan informasi yang salah.
Ketiga, dari sumber saya di Udayana tadi, ia menaksir defisit pada tahun 2022 tidak mencapai 1,3 triliun tapi hanya mendekati 1 triliun saja. Tapi untuk kepastian angkanya, dia meminta bersabar. Sebentar lagi Laporan Hasil Pemeriksaan BPK akan keluar, dan angka yang sebenarnya, yang audited, akan segera keluar.
Pelunasan Utang perlukan komitmen tertulis
Seorang kawan kontraktor, menyampaikan keluhannya kepada saya, dari 24 kontrak pekerjaannya, baru 8 kontrak yang telah dibayar oleh Pemprov NTB. Kawan ini juga berinisiatif menelpon sahabatnya, kontraktor asal pulau seberang, keluhannya lebih menyedihkan lagi, dari 42 paket kontrak pekerjaan, oleh pihak pemprov sudah dibayar hanya 3 paket. Kawan kontraktor asal pulau seberang itu mengaku dikejar-kejar Utang, ongkos tukang, sampai ingin melakukan “perniagaan zaman batu” melakukan barter paket proyek dengan sesuatu yang bisa diuangkan.
Mari kita coba hitung, jika anda menangani satu paket pekerjaan dengan pagu 200 juta, maka jika ada 40 paket pekerjaan belum terbayar, berarti ada uang sekitar 8 miliar yang mengendap. Mari juga hitung, berapa tenaga kerja yang ia perlukan untuk setiap kontraknya? Dan berapa upah tukang yang tertunda karena keterlambatan pembayaran ini?
Gonjang-ganjing ini tentu perlu disudahi, kekhawatiran para pihak perlu ditenangkan. Dan bagaimana caranya menenangkannya? Tidak cukup dengan komitmen lisan dari gubernur atau pejabat yang mengatasnamakan gubernur.
Negara harus bertindak jelas dan terang. Komitmen pelunasan oleh negara dibuat dalam bentuk tertulis yang menuangkan janjinya, bahwa utang akan dilunasi pada bulan Juli, selambat-lambatnya sebelum masa jabatan Zul-Rohmi selesai. Dan komitmen ini tentu mesti ditegaskan, jika Pemprov NTB telat membayar, maka hal itu bisa diperdatakan, dan Pemprov mesti membayar sekaligus, senilai harga proyek, berikut bunga dan kerugian non material lainnya. Dan kita berharap, DPRD NTB juga ikut bersuara, ikut mengawal, agar masalah ini cepat tuntas. Para wakil rakyat tidak boleh cari aman terus.
Halaman : 1 2
















