Halontb.com – Di tengah deru sorak dan aroma tanah yang masih menyimpan jejak leluhur, panahan tradisional menjelma menjadi atraksi budaya yang hidup di arena FORNAS VIII 2025. Tidak sekadar olahraga, kegiatan ini menjadi ruang ekspresi kolektif di mana sejarah, nilai-nilai adat, dan keakraban komunitas melebur menjadi satu.
Kompetisi ini berlangsung dengan nuansa kultural yang kuat. Para peserta hadir bukan dengan jersey modern, melainkan dengan busana adat yang membanggakan asal-usul mereka: dari ulos khas Sumatra Utara, beskap lengkap dengan blangkon dari tanah Jawa, hingga tenun ikat yang berakar dari bumi timur Indonesia.
Heru dari PERPATRI NJ, selaku technical delegate, menuturkan bahwa penyelenggaraan ini adalah hasil dari perjalanan panjang dan konsistensi komunitas panahan tradisional. “Panahan tradisional bukan olahraga yang mengejar modernitas. Ia berkembang dalam konteks budaya, dan FORNAS ini adalah titik temu yang membuktikan bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan semangat kompetisi,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Panahan dalam ajang ini dibagi dalam 16 kategori, masing-masing dengan aturan dan teknik khas yang mencerminkan asal komunitasnya. Namun satu hal yang menyatukan: tidak ada ruang bagi teknologi modern. Semua busur dan anak panah adalah hasil buatan tangan, dirancang dengan kearifan lokal.
Lebih dari itu, FORNAS menjadi forum silaturahmi. “Banyak dari kami sebelumnya hanya saling kenal lewat media sosial. Di sini kami bertatap muka, saling belajar, saling berbagi, dan menguatkan jaringan antar komunitas,” kata Heru.
Menurutnya, menjaga tradisi berarti membawa serta nilai-nilai budaya dalam setiap langkah. Karena itu, keberadaan pakaian adat dalam kompetisi bukan formalitas. “Ini bagian dari penghormatan. Tanpa budaya, panahan tradisional kehilangan rohnya,” tegasnya.
FORNAS VIII terus berlangsung hingga awal Agustus 2025. Di antara ratusan cabang olahraga masyarakat yang dipertandingkan, panahan tradisional mencuri perhatian karena tidak hanya menguji fisik, tetapi juga membangkitkan rasa memiliki terhadap kekayaan budaya bangsa. Di tangan para pemanah itu, panah tak hanya menjadi senjata, tapi juga penjaga identitas.






