Halontb.com – Nasib hukum mantan Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kelas III Kayangan, Sentot Ismudiyanto Kuncoro, terus berubah di setiap tahapan persidangan. Setelah sebelumnya divonis 14 tahun oleh Pengadilan Negeri Mataram, lalu dikurangi menjadi 13 tahun oleh Pengadilan Tinggi NTB, kini Mahkamah Agung kembali mengoreksi putusan itu menjadi 10 tahun penjara.
Keputusan ini diambil oleh majelis hakim Mahkamah Agung yang dipimpin Yohanes Priyana dengan anggota H. Arison Megajaya dan Noor Edi Yono. Meski menolak kasasi yang diajukan terdakwa, MA tetap memutuskan untuk mengurangi hukumannya.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram, Lalu Moh. Sandi Iramaya, membenarkan adanya revisi vonis tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Iya, benar. Sesuai dengan salinan putusan yang kami terima dari Mahkamah Agung, pidana hukumannya diperbaiki dari 13 menjadi 10 tahun,” ujar Sandi.
Kasus yang menjerat Sentot berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tambang pasir besi PT Anugerah Mitra Graha (AMG) di Lombok Timur.
Dugaan Penyalahgunaan Wewenang dan Kerugian Negara
Dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ini, Sentot dinyatakan bersalah karena meloloskan operasional tambang pasir besi PT AMG meskipun perusahaan tersebut tidak memiliki RKAB dari Kementerian ESDM. Akibat aktivitas ilegal ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp36,4 miliar dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP), berdasarkan audit BPKP NTB.
Sentot terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain hukuman penjara, ia juga diwajibkan membayar denda Rp500 juta atau menjalani hukuman tambahan empat bulan kurungan jika tidak mampu membayar.
Kasus ini menjadi sorotan karena adanya perubahan vonis di setiap tingkatan pengadilan, menimbulkan pertanyaan di publik apakah ada faktor lain yang memengaruhi keputusan hakim. Meski vonis akhir lebih ringan, Sentot tetap harus menjalani hukuman atas perannya dalam skandal korupsi tambang pasir besi yang merugikan negara miliaran rupiah.
Perkara ini juga menjadi catatan penting mengenai lemahnya pengawasan pertambangan di Indonesia, di mana celah hukum sering dimanfaatkan oleh oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan negara.