Halontb.com – Sepak bola tak lagi milik mereka yang muda dan kuat. Di Lapangan Polda NTB, suara peluit berbunyi bukan untuk menyambut sprint atau tekel keras, melainkan untuk menandai lahirnya revolusi olahraga penuh kasih: sepak bola berjalan, atau walking football.
Untuk pertama kalinya, cabang ini resmi dipertandingkan dalam Festival Olahraga Masyarakat Nasional (Fornas) VIII, dan NTB sebagai tuan rumah memilih untuk tidak hanya menjadi penyelenggara, tapi juga pionir. Di bawah bendera Persejasi NTB, mereka turun penuh kekuatan dan mengusung ambisi besar menyapu bersih medali emas dari semua kategori.
Ketua Persejasi NTB, Musa Kazim Anwar, percaya NTB memiliki segalanya untuk unggul. “Targetnya jelas: emas di semua nomor. Kita ikut tiga kategori pria, wanita, dan campuran. Meski baru berdiri enam bulan, kami berlatih hampir tiap hari dan semangatnya luar biasa,” ungkap Musa, Rabu (30/7/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan modal kepengurusan di enam kabupaten/kota dan pelatih nasional seperti Nasir Salasa yang turut membina, Persejasi NTB bergerak cepat. Mereka tidak hanya membentuk tim, tapi juga membangun ekosistem olahraga inklusif yang menjadikan usia bukan batasan.
Hendra Hartono, Ketua Umum Persejasi Pusat, menyebut kehadiran walking football di Fornas sebagai momentum sejarah. “Kami ingin para pecinta bola usia 40 tahun ke atas tetap bisa main dengan aman. Tak ada lari, tak ada tekel, tak ada risiko. Ini olahraga untuk hidup sehat dan bahagia,” jelasnya.
Dari 22 provinsi yang telah memiliki kepengurusan Persejasi, delapan mengirim tim ke NTB. Jumlah pemain bervariasi antara lima hingga tujuh, bergantung pada tipe lapangan. Format round robin membuat setiap tim harus saling berhadapan, menjadikan pertandingan padat tapi bersahabat.
Yang membanggakan, banyak pemain NTB merupakan atlet senior. Bahkan beberapa pemain wanita berusia 50 hingga 70 tahun tetap tampil percaya diri, penuh semangat, dan tak kalah taktis. Semangat itu menjadi bukti bahwa olahraga bukan tentang kompetisi semata, tapi tentang merayakan hidup secara aktif.
“Ini soal menyatukan, bukan memisahkan. Soal menggerakkan ekonomi lokal, membuka peluang wisata, dan menunjukkan bahwa semua usia bisa bersinar,” kata Musa.
Fornas VIII tak hanya menandai kehadiran cabang baru, tapi juga menjadi saksi munculnya kekuatan baru dalam olahraga masyarakat Indonesia. Di lapangan tanpa tabrakan, semangat juang justru membara lebih hebat karena sepak bola berjalan tak butuh sprint, tapi butuh hati.






