Halontb.com – Fakta mengejutkan kembali terungkap dalam sidang ke-14 kasus dugaan korupsi pembangunan NTB Convention Center (NCC) yang menyeret mantan Sekda NTB, Rosiady Husaeni Sayuti, ke meja hijau. Dalam sidang yang digelar Senin, 4 Agustus 2025, keterangan para saksi justru menguatkan bahwa Rosiady tak memiliki peran dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan proyek yang kini dipersoalkan.
Empat saksi dihadirkan dalam sidang, yakni Dr. Ir. H. Dwi Sugianto (mantan Kepala Dinas PUPR NTB), Hj. Lalu Marwan (mantan pejabat teknis Dinas PUPR), serta dua konsultan perencana, Didik Setijo dari CV Adi Cipta dan Jhoni Ismanto. Dari kesaksian mereka, terang benderang bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada Rosiady sangat jauh dari fakta yang terjadi.
Sidang ke-14 Kasus NCC: Saksi Kunci Ringankan Posisi Rosiady
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dwi Sugianto menyampaikan dengan tegas bahwa Rosiady tidak pernah terlibat dalam penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB), komunikasi teknis, maupun pengambilan keputusan dalam pembangunan gedung pengganti NCC, yakni Gedung Labkes dan PKBI. Ia juga menegaskan tidak pernah ada komunikasi ataupun koordinasi antara Rosiady dan pihak PUPR terkait proyek tersebut.
Saksi lainnya, Lalu Marwan, justru mengakui bahwa ia adalah pihak yang menyerahkan Dokumen Engineering Detail Design (DED) dan bertanggung jawab penuh atas isinya. DED itu kemudian disahkan oleh Dwi Sugianto dan Sekda NTB kala itu, (alm.) H. Muhammad Nur, bukan oleh Rosiady.
Dalam persidangan, juga diungkap adanya dua RAB yang menjadi titik kebingungan:
* RAB pertama, bernilai Rp12,2–12,4 miliar, merupakan usulan awal yang tidak pernah disahkan.
* RAB kedua, yang sah dan dilaksanakan, bernilai Rp6,5 miliar, dan telah melalui proses pengkajian teknis serta rapat resmi antara PUPR dan pihak terkait.
Perbedaan dua angka inilah yang sebelumnya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam mendalilkan adanya kerugian negara. Namun, fakta di persidangan justru membantah hal itu. Penurunan nilai RAB dilakukan secara legal dan sah, bukan manipulasi ataupun bentuk korupsi.
Sementara itu, dua saksi konsultan, Didik dan Jhoni, mempertegas bahwa:
* Tidak pernah ada RAB sah senilai Rp12 miliar karena tidak memenuhi syarat sebagai dokumen teknis lengkap (DED).
* RAB wajib dilengkapi dengan gambar teknis, rincian biaya, dan RKS. Jika salah satu unsur tidak ada, maka dokumen itu tidak bisa disebut RAB yang sah.
* Tidak pernah ada rekayasa angka dalam dokumen perencanaan, dan tidak pernah ada intervensi atau peran dari Rosiady dalam proses teknis maupun pelaksanaan proyek.
Kuasa hukum Rosiady, Rofiq Ashari alias Opik, menilai bahwa fakta-fakta yang terungkap hari ini sangat jelas membuktikan ketidakterlibatan kliennya. Ia juga menegaskan bahwa kasus ini tidak memiliki unsur pidana karena:
* Bukan dana APBD maupun APBN yang digunakan, melainkan dana dari pihak investor,
* Tidak ada kerugian negara, bahkan justru negara diuntungkan karena memperoleh dua bangunan baru secara cuma-cuma.
“Ketika angka dari Rp12 miliar turun ke Rp6,5 miliar melalui mekanisme legal, di mana letak kerugiannya? Di mana letak korupsinya?” tegas Opik.
Ia pun menuding dakwaan JPU hanya didasarkan pada asumsi dan laporan dari kantor akuntan publik, bukan dari lembaga negara resmi seperti BPK RI yang justru selama bertahun-tahun memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Pemprov NTB.
Dengan semakin kuatnya fakta-fakta di persidangan, tim kuasa hukum berharap majelis hakim dapat bersikap objektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Sebab, jika keadilan ingin ditegakkan, Rosiady Husaeni Sayuti seharusnya dibebaskan dari segala dakwaan.