Halontb.com – Logika penegakan hukum kembali diuji di ruang sidang Tipikor Mataram. Isabel Tanihaha, terdakwa kasus dugaan korupsi, melalui tim kuasa hukumnya melontarkan pledoi yang lebih mirip tamparan balik kepada jaksa.
Betapa tidak, tanah yang sejak 2013 sah menjadi aset PT Tripat dengan status Hak Guna Bangunan (SHGB), justru tetap diperlakukan jaksa seolah-olah barang milik daerah. “Kalau logika itu dipakai, berarti SK Bupati, Perda, dan persetujuan DPRD dianggap sampah? BPN juga ikut-ikutan menerbitkan sertifikat fiktif?” sindir Defika Yufiandra, kuasa hukum Isabel, di hadapan majelis hakim, Jumat (3/10/2025).
Lebih absurd lagi, tudingan kerugian negara dipaksakan hanya karena dalam kerja sama operasional (KSO) tidak ada klausul kontribusi tetap. Padahal, model business to business (B to B) justru memberi keleluasaan penuh bagi kedua pihak menyusun pola keuntungan. “Memaksa kontribusi tetap padahal tidak ada kewajiban hukumnya, bukankah itu justru bisa disebut pungli berseragam hukum?” ucap kuasa hukum dengan nada sarkastis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Isu penjaminan aset di Bank Sinarmas pun menjadi bahan sindiran. Jaksa menuding itu berpotensi merugikan negara. Faktanya, tanah tetap utuh, tidak pernah dilelang, bahkan nilainya melonjak fantastis dari Rp 22 miliar menjadi Rp100 miliar, hingga pernah ditaksir Rp350 miliar. “Kalau ini namanya rugi, berarti orang yang rumahnya naik harga tiga kali lipat juga harus ditangkap?” cibir tim pembela.
Tak berhenti di sana, metode perhitungan kerugian negara oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) juga jadi bahan kritik. Alih-alih menggunakan BPK satu-satunya lembaga konstitusional yang berwenang jaksa malah memakai auditor yang tidak bersertifikat resmi. “Kenapa? Karena BPK pasti tidak bisa dipaksa menyatakan ada kerugian. Jadi lebih enak cari auditor versi pesanan,” sindir tim hukum.
Pada akhirnya, pledoi Isabel menguliti kelemahan dakwaan satu per satu, tanah bukan lagi aset daerah, kontribusi tetap hanyalah ilusi, kerugian negara tidak terbukti, dan metode audit penuh cacat prosedural.
“Yang rugi justru akal sehat publik, karena dipaksa menelan logika hukum yang jungkir balik,” pungkas pembela dengan nada getir.
Editor : reza






