KIWARI (belakangan ini) dalam bidang hukum sedang ngetrend istilah obstruction of justice, atau menghalang-halangi , merintangi atau menghambat pelaksanaan hukum. Istilah ini semula banyak dipakai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kemudian diikuti oleh berbagai lembaga penegak hukum lainnya, termasuk akhirnya oleh masyarakat luas.
Sebaliknya, tak banyak penegak hukum, apalagi masyarakat, mungkin juga kalangan pers sendiri, yang mengetahui, sebenarnya, di lingkungan pers sudah sekitar 23 tahun lalu juga dikenal istilah obstruction, yakni menghalang-halangi, merintangi atau menghambat. Dalam hal ini obstruction of press freedom: menghalangi, merintangi atau menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers.
Obstruction of press freedom diatur dalam pasal 18 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya kita sebut saja “UU Pers”), khususnya ayat (1) Bab VIII Ketentuan Pidana. Dilihat dari penempatannya di bab pidana dan rumusannya sendiri, pelanggaran terhadap obstruction of press freedom jelas merupakan tindakan pidana atau perbuatan kriminal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun Pasal 18 ayat (1) UU Pers tersebut berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 (terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan siaran) dan ayat 3 (untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”